Bahas Penerapan Hukum Hadas, BKI Kreatif Kembali Hadir Edukasi Masyarakat
Program Studi Bimbingan Konseling Islam (BKI) FDKI IAIN Kudus mengadakan acara BKI Kreatif dengan tema "Penerapan Hukum Hadas dalam Kehidupan Sehari-hari", Senin (19/06/2023). Dalam kesempatan ini diisi oleh Fatma Laili Khoirun Nida, S.Ag.,M.Si. Pada kesempatan ini, Bu Fatma menjelaskan tentang jenis-jenis najis serta bagaimana cara menyucikan najis tersebut.
Sebelum menjelaskan mengenai najis, perlu diketahui juga tentang macam-macam hadas. Hadas terbagi menjadi kecil dan besar yang diartikan sebagai keadaan tidak suci. Kondisi hadas mengakibatkan ibadah seseorang yang sudah baligh dan berakal hukumnya tidak sah.
- Hadas kecil
Segala suatu peristiwa atau kejadian yang menyebabkan seseorang harus bersuci dengan berwudhu atau tayamum. Hal-hal yang termasuk ke dalam hadas kecil adalah:
- Keluar sesuatu dari dua lubang yaitu qubul dan dubur
- Bersentuhan langsung antara kulit laki-laki dan kulit perempuan yang sudah baligh dan bukan mahramnya
- Menyentuh kemaluan, baik kemaluan sendiri maupun kemaluan orang lain dengan telapak tangan atau jari. Rasulullah SAW pernah bersabda mengenai hal ini,
وَعَنْ بÙسْرَةَ بÙنْت٠صَÙْوَانَ رَضÙÙŠÙŽ اللَّه٠عَنْهَا أَنَّ رَسÙولَ اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ قَالَ : { مَنْ مَسَّ ذَكَرَه٠Ùَلْيَتَوَضَّأْ } أَخْرَجَه٠الْخَمْسَة٠، وَصَØÙ‘ÙŽØَه٠التّÙرْمÙØ°Ùيّ٠وَابْن٠ØÙبَّانَ ØŒ وَقَالَ الْبÙخَارÙيّ٠: Ù‡ÙÙˆÙŽ أَصَØّ٠شَيْء٠ÙÙÙŠ هَذَا الْبَابÙ
Artinya: Dari Busrah bin Shafwan RA, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersada: "Siapa yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu," (HR Lima Ahli Hadis).
- Hilang kesadaran, seperti tidur nyenyak, gila, pingsan, atau mabuk.
- Hadas besar
Segala sesuatu atau kondisi yang menyebabkan seseorang harus bersuci dengan mandi wajib. Hal-hal yang termasuk ke dalam hadas besar adalah:
- Keluar darah bagi perempuan, berupa haid (darah yang keluar setiap bulan), nifas (darah yang keluar setelah melahirkan), maupun wiladah (darah yang keluar ketika melahirkan)
- Keluar air mani, baik disebabkan karena mimpi basah atau sebab lain
- Hubungan suami istri (Jima'), baik yang keluar mani atau pun tidak. Sebagaimana sesuai dengan sabda Rasulullah SAW,
إذَا جَلَسَ بَيْنَ Ø´ÙعَبÙهَا الْأَرْبَع٠وَمَسَّ الْخÙتَان٠الْخÙتَانَ Ùَقَدْ وَجَبَ الْغÙسْل٠وَإÙنْ لَمْ ÙŠÙنْزÙÙ„
Artinya: "Bila seorang lelaki duduk di antara empat potongan tubuh wanita (dua tangan dan dua kaki) dan tempat khitan (laki-laki) bertemu tempat khitan (wanita) maka sungguh wajib mandi meskipun tidak keluar mani," (HR Muslim).
- Meninggal dunia.
Di dalam fiqih najis dikelompokkan dalam 3 kategori, yakni najis mukhaffafah, najis mutawassithah, dan najis mughalladhah. Sebagaimana ditulis oleh para fuqaha dalam kitab-kitabnya, salah satunya oleh Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safiinatun Najaa:
Ùصل النجاسات ثلاث: مغلظة ومخÙÙØ© ومتوسطةالمغلظة نجاسة الكلب والخنزير ÙˆÙرع اØدهما والمخÙÙØ© بول الصبي الذي لم يطعم غير اللبن ولم يبلغ الØولين والمتوسطة سائر النجاسات
Artinya:“Fashal, najis ada tiga macam: mughalladhah, mukhaffafah, dan mutawassithah. Najis mughalladhah adalah najisnya anjing dan babi beserta anakan salah satu dari keduanya. Najis mukhaffafah adalah najis air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibu dan belum sampai usia dua tahun. Sedangkan najis mutawassithah adalah najis-najis lainnya.
Ketiga kategori najis tersebut masing-masing memiliki cara tersendiri untuk menyucikannya. Namun sebelum membahas lebih jauh tentang bagaimana cara menyucikan ketiga najis tersebut perlu diketahui istilah “najis ‘ainiyah” dan “najis hukmiyah” terlebih dahulu. Najis ‘ainiyah adalah najis yang memiliki warna, bau dan rasa. Sedangkan najis hukmiyah tidak ada lagi adalah najis yang tidak memiliki warna, bau, dan rasa. Dengan kata lain najis ‘ainiyah adalah najis yang masih ada wujudnya, sedangkan najis hukmiyah adalah najis yang sudah tidak ada wujudnya namun secara hukum masih dihukumi najis. Pengertian ini akan lebih jelas pada pembahasan tata cara menyucikan najis. Adapun tata cara menyucikan najis sebagai berikut:
- Najis mughalladhah dapat disucikan dengan cara membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali basuhan di mana salah satunya dicampur dengan debu. Namun sebelum dibasuh dengan air mesti dihilangkan terlebih dulu ‘ainiyah atau wujud najisnya. Dengan hilangnya wujud najis tersebut maka secara kasat mata tidak ada lagi warna, bau dan rasa najis tersebut. Namun secara hukum (hukmiyah) najisnya masih ada di tempat yang terkena najis tersebut karena belum dibasuh dengan air. Untuk benar-benar menghilangkannya dan menyucikan tempatnya barulah dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali basuhan di mana salah satunya dicampur dengan debu. Pencampuran air dengan debu ini bisa dilakukan dengan tiga cara: Pertama, mencampur air dan debu secara berbarengan baru kemudian diletakkan pada tempat yang terkena najis. Cara ini adalah cara yang lebih utama dibanding cara lainnya. Kedua, meletakkan debu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya air dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh. Ketiga, memberi air terlebih dahulu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya debu dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh.
- Najis mukhaffafah yang merupakan air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan dan minum selain ASI dan belum berumur dua tahun, dapat disucikan dengan cara memercikkan air ke tempat yang terkena najis. Cara memercikkan air ini harus dengan percikan yang kuat dan air mengenai seluruh tempat yang terkena najis. Air yang dipercikkan juga mesti lebih banyak dari air kencing yang mengenai tempat tersebut. Setelah itu barulah diperas atau dikeringkan. Dalam hal ini tidak disyaratkan air yang dipakai untuk menyucikan harus mengalir.
- Najis mutawassithah dapat disucikan dengan cara menghilangkan lebih dahulu najis ‘ainiyah-nya. Setelah tidak ada lagi warna, bau, dan rasan najis tersebut baru kemudian menyiram tempatnya dengan air yang suci dan menyucikan. Sebagai contoh kasus, bila seorang anak buang air besar di lantai ruang tamu, umpamanya, maka langkah pertama untuk menyucikannya adalah dengan membuang lebih dahulu kotoran yang ada di lantai. Ini berarti najis ‘ainiyahnya sudah tidak ada dan yang tersisa adalah najis hukmiyah. Setelah yakin bahwa wujud kotoran itu sudah tidak ada (dengan tidak adanya warna, bau dan rasa dan lantai juga terlihat kering) baru kemudian menyiramkan air ke lantai yang terkena najis tersebut. Tindakan menyiramkan air bisa cukup di area najis saja, dan sudah dianggap suci meski air menggenang atau meresap ke dalam. Selanjutnya kita bisa mengelapnya lagi agar lantai kering dan tak mengganggu orang. (Leli)